MUSYAWARAH
Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang
dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau
mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak
penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu
sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.
Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah
mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin,
kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan
hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak.
Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun
dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan
demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi
Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH
Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan
musyawarah.
a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233
Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan
permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas
keduanya.
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami
istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah
tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat di
atas, Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga
persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawaraLkan
antara suami-istri.
b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap
lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu).
Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad,
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad
Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan
sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan
dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada
setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
c. dalam surat Al-Syura (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang
mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di
sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu
adalah:
Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka,
melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan
mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.
Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim
Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. dan
menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka
laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat
ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan
musyawarah.
Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga
bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap
persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika
menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih
jauh kandungan ayat-ayat tersebut.
PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT
Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci
lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak
terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau
perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai
metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini
merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal
mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami
perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin
memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga
dekat tertentu, demikian seterusnya.
Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan
perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk
global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat
menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya
manusia.
Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan
pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi
sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang
sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa
yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang
berlainan.
Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena
itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat
singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.
Jangankan Al-Quran, Nabi Saw. yang dalam banyak ha1
menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, periha1
musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga
memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara
suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara satu
dengan lainnya.
Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk tegas yang
rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri
yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip
syura yang diperintahkan Al-Quran --bukankah Al-Quran
memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama?
Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan
sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku
--rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul Saw.
telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur
sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim,
"Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."
Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad,
"Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka
kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan
dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:
Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan
penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan
kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk
untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh
orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai,
untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap
periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan
masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan
berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian
kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada
akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.
Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan
surat Al-Nisa' (4): 59.
MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN
Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari
ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban
tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama.
Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang
bersumber dari Sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk
tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya
mengikat.
Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah
antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam
hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa
sebaiknya musyawarah dilakukan.
Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih
dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran
mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk
mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara
tersurat ditemukan dalam surat Ali 'Imran ayat 159 yang
terjemahannya telah dikutip di atas.
Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan
diperintahkan kepada Muhammad Saw. untuk beliau lakukan
sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Penyebutan ketiga
sikap tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan
sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri
berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat
--sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi
pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut
sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan
setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan
satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni
kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada
ayat Ali 'Imran di atas.
Pertama, adalah sikap lemah lembut.
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin,
harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras
kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran
pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase,
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras,
niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam ayat di
atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka).
Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah
menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang
dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa
pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan
dengan sirnanya kekeruhan hati.
Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental
untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika
bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu
masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh
jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah
kandungan pesan fa'fu anhum.
Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa
kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup.
William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan,
Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu
argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat
mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan
etika dan nilai-nilai hidup kita.
Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di
samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah
"indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya,
atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan,
atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan
agamawan.
Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya
sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga
"kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa
izin orang yang dikunjungi.
Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya
dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat
kepada orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258),
kafir (QS Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik
(QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS A1
Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan
pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3).
Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika
musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah
sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah
permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan
oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159 di atas, wa istaghfir
lahum.
Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah
setelah musyawarah usai, yaitu
Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah
dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berserah diri.
ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH
ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH
Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat
159 surat Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal
ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang
berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Quran
sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada
semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran
untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shum
(terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi
manusia-manusia selain beliau.
Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami
berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan
kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat,
yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh
umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan
kepada mereka semua.
Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah
peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang
pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk
memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang
dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk
bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh
yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum
muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah
pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka
itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw.
menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya
tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang
dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat
ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana
pandangan Al-Quran tentang musyawarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. bahwa
musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun
terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi
tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan
seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan:
"Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada
Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga
akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah."
LAPANGAN MUSYAWARAH
LAPANGAN MUSYAWARAH
Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah
untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.
Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan
musyawarah, menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan
bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura
menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan
mereka".
Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan
sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur
tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:
Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk
yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf
[18]: 16.
Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).
Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti
dalam surat Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan
mereka).
Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu
yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat
dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah
(2): 117.
Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]:
117).
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat
mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana
surat Al-Isra' ayat 85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu
sebagai urusan Allah. Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat
128 secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari
wewenang Nabi Saw.,
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
(itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa
mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).
Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau
dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah
akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah
Nabi Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa
ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan agar
Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang
1ain.
Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya
hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia
tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan
yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.